Di dalam konteks ini, esports menempati posisi unik yang menjembatani masa olahraga fisik kemudian cabang olahraga berbasis kemampuan kognitif. Seperti catur, bridge, ataupun biliar yang telah memperoleh pengakuan dri Komite Olimpiade Internasional, esports juga menuntut konsentrasi tinggi, koordinasi motorik yang jitu, serta daya tahan mental yang menarik. Melansir Eusa University Sports Europe, atlit profesional di tempat esports menjalani sesi latihan intensif hingga enam hari di seminggu.
Mereka tidak hanya berfokus pada peningkatan kemampuan teknis permainan, tetapi jua menjalani latihan fisik untuk menjaga daya tahan tubuh serta kecepatan reaksi selama pertandingan. Meski unsur fisik berperan bernilai, terutama untuk menjaga kesehatan pemain pada jangka panjang, menetapkannya sebagai satu-satunya tolok ukur untuk menentukan status olahraga merupakan pendekatan yang terlampau sempit. Beruangjp dan kompleksitasnya, Esports telah menunjukkan kita sebagai cabang permainan kontemporer yang mencerminkan perkembangan zaman. Daripada menolaknya hanya hal ini karena kurangnya aktivitas fisik secara intens, yang lebih dibutuhkan adalah sistem yang dapat menopang pertumbuhan esports secara sehat dan profesional. Sebab, esensi olahraga bukan sekadar pada kekuatan fisik, tetapi juga di dedikasi, kemampuan teknis, dan semangat sportivitas dalam berkompetisi.
Sementara itu, cabang olahraga seperti darts, bowling, dan billiard lebih menekankan pada ketepatan, kestabilan, serta koordinasi presisi antara mata dan tangan. [newline]Seorang pemain profesional harus memiliki reaksi laju antara otak, penglihatan, dan tangan, sambil merancang strategi di dalam waktu yang paling terbatas. Berdasarkan logika tersebut, jika kamu telah menerima cabang-cabang olahraga yang punya karakteristik serupa, jadi menolak esports sebatas karena minimnya propaganda fisik besar seperti berlari atau melompat menjadi alasan yg lemah dan gak konsisten. Menurut laporan dari Esports Insider, antusiasme terhadap negara esports di kalangan anak muda terus menanjak.
Perlukah Giat Fisik Dalam Esports Agar Diakui Sebagai Sport?
Perdebatan tentang sejauh dimana tingkat kelayakan esport sebagai bentuk “olahraga” atau sport selalu berpusat pada unsur keterlibatan fisik selaku tolok ukur utama. Dalam perspektif konvensional, olahraga dianggap menjadi aktivitas yang menuntut gerakan tubuh, peningkatan detak jantung, juga keluarnya keringat. Tidak bisa dimungkiri bahwa mayoritas pemain esports menghabiskan waktu berjam-jam di depan layar monitor. Kondisi ini kerap menjadi bahan kritik terhadap industri esports karena gaya hidup yang kurang gerak fisik berpotensi memicu berbagai pasal kesehatan, seperti uzur postur tubuh, obesitas, hingga gangguan di indera penglihatan. Sebuah studi yang dilakuin DiFrancisco-Donoghue pada 1 tahun 2019 menunjukkan yakni lebih dari forty persen atlet esports profesional tidak sampai pada tingkat aktivitas fisik yang dianjurkan.
Beberapa Cabang Permainan Lain Juga Tidak Melulu Terpaku Dalam Aktivitas Fisik Semata
Bukan hanya itu juga, e-sports dengan seluruh benefit yang dapat didapatkan berhasil mematahkan stigma buruk bermain game, terutama bagi anak-anak. Dilansir dari berbagai sumber Kompas Gramedia, e-sports atau olahraga elektronik merupakan bidang olahraga yang menggunakan game menjadi bidang kompetitif. Atlet Esport juga dilatih via profesional, termasuk soal kebugaran, demi menunjang peforma di industry pertandingan. Esport ataupun olahraga elektronik saat ini sangat diminati, pasti dari tingginya peminat dalam setiap kompetisi yang diadakannya.
Meskipun begitu, perlu dipahami bahwa dunia esports profesional sangat berbeda dari sekadar bermain activity secara santai di dalam rumah. Kini, berbagai tim dan organisasi esports telah mulai mengadopsi pendekatan berbasis ilmu keolahragaan (sport science) dalam sistem latihan mereka. Hal ini mencakup rutinitas kebugaran, pengaturan pola makan, hingga latihan untuk mengelola tekanan mental.
Dalam kelompok usia 18 maka 29 tahun, minat terhadap esports naik dari 27 persen pada kuartal pertama 2021 menjadi thirty-one persen di kuartal kedua tahun 2024. Fenomena ini semakin menguat seiring besarnya turnamen esports yg diselenggarakan baik di tingkat nasional juga internasional. Kehadiran pra atlet digital dalam berlaga di panggung dunia pun turut mengharumkan nama bangsa, mempertegas bahwa esports bukan sekadar hiburan, melainkan juga arena prestasi.
Temuan ini memperlihatkan yakni kesehatan fisik masih menjadi tantangan serius yang harus ditangani dalam dunia esports profesional. Para atlet esports biasanya mengikuti jadwal latihan yang ketat dan tersusun rapi, serupa dgn atlet pada cabang olahraga fisik sebagainya. Mereka dituntut mengontrol daya tahan tubuh, fokus yang gedrungen, serta kemampuan berpikir taktis dalam waktu lama saat berlaga. Maka, meskipun kegiatan geraknya tidak seintens olahraga tradisional, tuntutan terhadap kesiapan fisik dan mental tetap sangat besar.
Namun, terlepas dari pencapaian ini, dunia esports sempat terguncang oleh penjelasaqn kontroversial dari Menteri Komunikasi dan Digital Republik Indonesia, Meutya Hafid. Hal indonesia disampaikannya dalam sebuah video pendek (shorts) di akun YouTube Kompas TV pada Rabu, 25 Mei 2025. Oleh sebab itu, penanganan isu game online hendaknya gak sekadar fokus di pelarangan dan pembatasan, melainkan juga dalam edukasi serta pendampingan.
Kontroversi terkait game online yang kerap dikaitkan dengan perilaku negatif hingga adanya wacana memindahkan siswa bermasalah ke barak militer menunjukkan bahwa masyarakat dan pemerintah masih dalam tahap mencari solusi terbagus untuk menghadapi tantangan di dunia electronic digital. Di satu sisi, kekhawatiran akan dampak negatif game, terutama yang mengandung unsur kekerasan dan risiko kecanduan, memang gak bisa diabaikan. Namun, di sisi yang lain, pendekatan yang terlalu keras dan generalisasi justru berpotensi mengesampingkan potensi serta minat anak-anak dalam aspek digital, termasuk esports.
Atlet Esport akan mengenakan sepakat layaknya para atlit cabang olahraga lain, mereka pun bermain untuk tim, tidak merupakan individu. Esports sekarang meraih pengakuan bergengsi dari dunia permainan internasional setelah Komite Olimpiade Internasional (IOC) resmi mengumumkan penyelenggaraan Olympic Esports Games pada tahun 2025. Mengutip situs resmi Olympics, edisi perdana Olympic Esports Games akan digelar dalam tahun 2027 dalam Riyadh, Arab Saudi. IOC mencetak sejarah pada Juli 2024, saat Sidang IOC ke-142 memutuskan buat menciptakan ajang Olympic Esports Games.
Pemerintah pusat maupun daerah dapat menginisiasi program parenting digital, pelatihan literasi digital di sekolah, dan menyediakan kegiatan jalan keluar yang positif berbasis teknologi, seperti code, desain game edukatif, atau esports sehat. Anak-anak tidak semata-mata dijauhkan dari activity, melainkan juga diberi ruang agar menghasilkan tumbuh dan bertumbuh dengan sehat di dalam dunia digital yg kini menjadi periode penting dari kehidupan modern. Dengan demikian, ruang digital bisa berubah dari ancaman menjadi peluang buat mencetak generasi remaja yang terampil, sehat, dan siap bersaing di masa depan. Di sinilah garis pemisah antara konsep “olahraga” dan “latihan fisik” mulai kabur, sebab aktivitas fisik dalam esports bukanlah bagian inti dri permainan, melainkan elemen pendukung demi penampilan maksimal. Esports di dalam akhirnya tidak hanya berkutat pada keterampilan mengendalikan perangkat atau joystick, tetapi juga melibatkan kekuatan emotional dan kebugaran fisik.